Al-Haya` (rasa malu) termasuk sifat penting guna
meningkatkan kualifikasi seorang muslim di hadapan Rabbnya serta di
tengah komunitas sosialnya. Bukan jenis malu kategori khojal
yang melahirkan rasa rendah diri dan enggan untuk beramal kebaikan
semisal amar ma’ruf nahi mungkar dan bertanya tentang ilmu yang tak
diketahui. Karena menahan diri dalam masalah itu mengindikasikan ‘ajzun (kelemahan) dan mahânah (kehinaan diri)
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Madârijus Sâlikin menyebutkan
‘kalau sumber rasa malu yang yang berbuah kebaikan itu memancar dari
hati yang hidup dan kesadaran terhadap limpahan karunia Allah padanya
dibarengi dengan pengakuan atas ketidaksempurnaan dalam menjalankan
hak-hak Rabbnya. Sifat ini membuahkan timbulnya pendirian untuk menjauhi
hal-hal yang diharamkan dan menjalankan kewajiban-kewajiban’.
Hingga tidak perlu dipertanyakan ketika rasa malu menjadi bagian
cabang keimanan. Lantaran pada dirinya telah tertanam katup pengontrol
dari segala keburukan. Oleh karenanya, perilaku dan tutur kata buruk,
apalagi maksiat tersisihkan dari dirinya.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ شُعْبَةً وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman adalah tujuh puluh sekian cabang. Yang paling utama adalah
Laa ilaaha illallah. Cabang terendah ialah menyingkirkan gangguan dari
jalan. Dan rasa malu salah satu cabang keimanan”. [HR. Muslim].
Dengan taufik dari Allah, kebaikan demi kebaikan akan deras
berselingan pada orang yang telah menghiasi diri dengan moral yang luhur
ini. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
Rasa malu tidak mendatangkan kecuali kebaikan [HR. al Bukhâri dan Muslim]
Berkaitan dengan kepemilikan rasa malu yang berbuah manis ini, Abu Sa’îd Al Khudri Radhiyallahu anhu menceritakan :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَشَدَّ
حَيَاءً مِنْ الْعَذْرَاءِ فِي خِدْرِهَا وَكَانَ إِذَا كَرِهَ شَيْئًا
عَرَفْنَاهُ فِي وَجْهِهِ
“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih malu dari seorang gadis perawan yang berada dalam hijabnya[1]. Bila beliau melihat sesuatu yang tidak disukai, maka akan terlihat di wajahnya”. [HR. al Bukhari dan Muslim]
Para sahabat telah mengetahui kebencian beliau terhadap sesuatu
(selain pelanggaran agama) melalui perubahan air muka yang seketika. Hal
itu tiada lain karena rasa malu pada diri beliau yang mulia.
Atas sebab itu pula, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
enak menyuruh sejumlah shahabat yang duduk berlama-lama di kediaman
beliau agar beranjak pergi. Karena acara jamuan sudah usai. Saat itu,
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengundang mereka untuk menghadiri
walimah istri beliau Zainab Radhiyallahu anhuma. Hanya saja, meski acara
sudah selesai, sebagian mereka tidak langsung bergegas pulang. Beliau
sengaja mondar-mandir keluar masuk rumah sendiri untuk memberi sinyal
kepada mereka agar mereka cepat meninggalkan rumah beliau. Namun isyarat
tersebut belum terpahami. Maka turunlah ayat 53 dari surat al Ahzâb. [HR. al Bukhari dan Muslim]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَدْخُلُوا بُيُوتَ
النَّبِيِّ إِلَّا أَنْ يُؤْذَنَ لَكُمْ إِلَىٰ طَعَامٍ غَيْرَ نَاظِرِينَ
إِنَاهُ وَلَٰكِنْ إِذَا دُعِيتُمْ فَادْخُلُوا فَإِذَا طَعِمْتُمْ
فَانْتَشِرُوا وَلَا مُسْتَأْنِسِينَ لِحَدِيثٍ ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ يُؤْذِي النَّبِيَّ فَيَسْتَحْيِي مِنْكُمْ ۖ وَاللَّهُ لَا يَسْتَحْيِي مِنَ الْحَقِّ ۚ وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ ۚ وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا ۚ إِنَّ ذَٰلِكُمْ كَانَ عِنْدَ اللَّهِ عَظِيمًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memasuki
rumah-rumah Nabi kecuali bila kamu diizinkan untuk makan dengan tidak
menunggu-nunggu waktu masak (makanannya), tetapi jika kamu diundang maka
masuklah dan bila kamu selesai makan, keluarlah kamu tanpa asyik
memperpanjang percakapan. Sesungguhnya yang demikian itu akan mengganggu
Nabi lalu Nabi malu kepadamu (untuk menyuruh kamu keluar), dan Allah
tidak malu (menerangkan) yang benar. Apabila kamu meminta sesuatu
(keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari
belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati
mereka. Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak
(pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat.
Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar (dosanya) di sisi Allah”. [al-Ahzab/33:53]
Akan tetapi, dalam konteks pelanggaran aturan Allah Subhanahu wa
Ta’ala, beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang sangat
tegas dalam menegakkan hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala .
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 05/Tahun XI/1428/2007M.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.
Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi
08122589079]
________
Footnote
Maksudnya, bila ia ditemui lelaki di dalamnya (Fathul Bari)
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment